oleh: Tantowi Alwi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan seperti habis tenaga setelah
digempur kanan-kiri oleh pihak-pihak yang dianggap takut akan keberadaan KPK.
Melembeknya KPK bukan akibat kinerja internal. Imbas kriminalisasi terhadap
pimpinan KPK lewat kasus rekening gendut Komjen Pol Budi Gunawan cukup membuat
lembaga ini terseok-seok. Ditambah
lagi dengan diajukannya draft revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
oleh sejumlah anggota DPR RI yang disinyalir akan melemahkan KPK.
Setidaknya, terdapat lima poin
di dalam draft usulan perubahan yang menjadi perhatian publik. Pertama, umur
KPK dibatasi hanya 12 tahun sejak Rancangan Undang-Undang (RUU) resmi
diundangkan. Kedua, KPK tak berwenang melakukan penuntutan. Ketiga, KPK hanya
menangani kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp50.000.000.000. Keempat, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan dengan izin dari ketua pengadilan negeri. Kelima, KPK tidak memiliki
penuntut sendiri. Poin-poin tersebut menuai kritik. Publik dibuat bingung,
dasar rasional apa yang menjadi landasan DPR mengajukan draft tersebut.
Habis digempur, digembosi pula.
Stigma itulah yang cocok menggambarkan kondisi KPK saat ini. KPK yang power-nya istimewa akan seperti macan
“ompong” bila usulan perubahan tersebut resmi diketok palu. KPK sudah bertaring
walaupun sudah berkali-kali dikriminalisasi. Jadi untuk apa lagi RUU tentang
KPK ini.
Terkait kisruh ini DPR berkilah,
draft RUU tidak untuk melemahkan KPK malah untuk memperkuat KPK. Hal ini
dianggap tidak masuk akal. Apakah benar RUU KPK untuk menguatkan KPK? ada kesan
bahwa DPR “mengamputasi” kekuatan KPK. Beberapa poin tersebut sudah secara
eksplisit untuk melemahkan KPK sebagai institusi yang memberantas korupsi di
Indonesia. Bahkan Pakar Hukum menganggap DPR takut bersinggungan dengan KPK. Menoleh
ke belakang memang KPK selalu berhasil menyentuh petinggi di negeri ini yang
selama ini tak pernah tersentuh. Kalau memang iya dibalik pengajuan draft RUU
KPK ada kepentingan agar tidak tersentuh oleh KPK. Lalu kemana semangat untuk
memberantas korupsi di negeri ini?
Memerangi korupsi harus dilanjutkan
lantaran perilaku pejabat dan politikus belum bersih benar dari wajah buruk korupsi.
Dengan adanya RUU tentang KPK ini, mereka malah hendak melemahkan komisi
antirasuah itu. Padahal Kasus Dewie Limpo, Gatot Pujo Nugroho, dan kasus-kasus
lain merupakan representasi kondisi pejabat dan politikus saat ini.
Hentikan RUU tentang KPK. Sekali
kita membiarkan KPK “diamputasi” artinya kita membiarkan koruptor yang menang. Presiden
Joko Widodo harus tanggap dengan sinyal mengerikan ini. Menolak RUU tentang KPK
adalah keputusan yang tepat. Rakyat Indonesia masih mempercayai KPK sebagai
lembaga yang terpercaya dalam memberantas korupsi. Jadi, tunggu apa lagi Pak
Presiden? tolak saja itu.
0 comments:
Post a Comment