Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Sang Pemula
Tebal : 422 hlm
Harga : Rp 30.000
ISBN : 979-973-120-8
SEPOTONG CERITA PERJUANGAN
BAPAK PERS NASIONAL
“Djaman sekarang,
banjak sekali journalist jang gagah brani, tetapi moedah didjebak, sedang
journalist jang tjerdik kebranian koerang”
Raden Mas (RM) Tirto Adhi Soerjo
lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1880. Djokomono adalah nama pada masa
kecilnya. Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di HBS Belanda kemudian
melanjutkan studi eleve (bahasa
Prancis, artinya seperti sekolah kejuruan) kedokteran di STOVIA, Batavia.
Tirto Adhi
Soerjo menjadi jurnalis yang berbeda sekembalinya dari pengembaraan di Maluku.
Tidak seperti ketika memimpin surat kabar Soenda Berita dengan sopan dan
sabar, ia berubah menjadi begitu sengit. Seperti dikatakan Pramoedya Ananta
Toer dalam buku Sang Pemula, dalam setiap kesempatan, Tirto sering menggunakan
tulisan-tulisannya untuk berani mengkritik dan menyatakan ketidakadilan serta
kebusukan pemerintahan Belanda. Selama di Maluku Tirto menyaksikan kebiadaban dan
perlakuan tidak adil kepada pribumi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.
Berbekal
pengalaman di Maluku membuat dirinya berani mempublikasikan Medan Prijaji. Koran ini dikenal sebagai surat kabar nasional pertama, karena
menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) dan seluruh pekerja mulai dari wartawan,
penerbitan, dan pekerjanya adalah pribumi Indonesia asli. Dengan delapan
pedoman bahwa surat kabar (berita) harus memberi informasi, menjadi penyuluh
keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia,
membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi
atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat
bangsanya dengan usaha dan perdagangan, Medan Prijaji menunjukkan secara
gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus diarahkan.
Akar Jurnalisme
politik mengurat sampai pasca kemerdekaan. Di era demokrasi liberal tahun
1950-an, pers adalah napas yang sama dengan era sebelumnya, yaitu menjadi pers
propaganda. Kita bisa menyebut beberapa contoh : Abadi (berafiliasi
dengan Masyumi), Pedoman (PSI), Harian Rakyat (PKI), Suluh
Indonesia (PNI), dan Indonesia Raya (Independen, anti
komunis). Pasar surat kabar saat itu dikuasai media yang berafiliasi
dengan partai politik.
Tirto Adhi Soerjo juga menjadi motor gerakan
emansipasi wanita bersama R.A Kartini yang ternyata masih serumpun jika dilihat
dari garis keturunan para raja Madura. Beberapa persamaan antara Tirto dan R.A
Kartini adalah sebagai berikut, kepriyayian
saat R.A Kartini dan Tirto menolak menjadi priyayi, Kedokteran saat R.A Kartini memandang kedokteran sebagai lapangan
pekerjaan yang yang bagus untuk bangsanya, sedangkan Tirto telah mengikuti
sekolah kedokteran, walaupun tidak sampai selesai. Sekolah gadis untuk pribumi saat R.A Kartini bercita-cita
mendirikan sebuah sekolah, sedangkan Tirto menulis terkait pengajaran untuk
perempuan Bumiputera, dan Perhimpunan Oost en West saat R.A
Kartini membantu memajukan kerajinan pribumi, sedangkan Tirto telah menjadi
anggota perhimpunan tersebut cabang Jawa Barat.
Lain R.A Kartini,
lain pula cerita Tirto dengan Dewi Sartika. Namun, tidak banyak keterlibatan
Tirto dalam perjuangannya menggerakkan emansipasi wanita kala itu. Di mulai
sejak Tirto menjadi donatur dan penasihat di usaha dan sekolah tenun Dewi
Sartika.