Oleh: Nasrul Haqqi, Bahrul Ilmi
Fakultas
Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (FTI UII) baru-baru ini telah
mengumumkan regulasi baru yang dibuat oleh Dekanat, peraturan tersebut berisi
tentang kehadiran perkuliahan bagi mahasiswa FTI UII. Peraturan ini mulai
berlaku pada awal semester genap Tahun Akademik 2014/2015. Ketua Lembaga
Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTI Akhmad M. Susilo berpendapat, maksud peraturan
ini dibuat supaya mahasiswa bisa menjadi pribadi yang lebih jujur, dan
bertujuan agar lulusan UII adalah para mahasiswa yang mempunyai akhlak yang
baik di dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia kerja. Salah satu di antara
beberapa peraturan tersebut berbunyi, setiap mahasiswa wajib mengikuti kegiatan
kuliah minimal 75% dari kegiatan yang dilaksanakan.
Peraturan
ini sebenarnya adalah peraturan yang sudah lama dibentuk oleh pihak universitas
yang tertuang dalam Peraturan UII No. 04/PU/REK/BPA/2014 tentang Peraturan
Penyelenggaraan Kegiatan Akademik Program Strata 1 (S1), Bab VI Pasal 10 ayat
8, yang dasarnya dari peraturan DIKTI. “Mahasiswa wajib mengikuti perkuliahan
minimal 75%. Bunyinya cuma seperti
itu yang peraturan dari universitas,” jelas Hendra selaku Kepala Jurusan Teknik
Elektro. Menurut Hendra, terdapat beberapa poin yang telah tercantum di dalam
peraturan dekan tersebut. Pertama mengenai masalah ketidakhadiran mahasiswa
dalam kegiatan kuliah sebanyak-banyaknya 25% dari seluruh kegiatan kuliah yang
diikuti. Ketidakhadiran itu boleh dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk izin
kegiatan di luar kegiatan kemahasiswaan dengan ketentuan tidak memerlukan
banyak waktu. Kemudian dekanat juga membuat peraturan mengenai izin tertentu
yang masih diperbolehkan dengan ketentuan memerlukan waktu yang lama seperti
Kerja Praktek (KP), izin dengan kasus khusus seperti sakit. Selanjutnya izin
dari institusi dengan surat penugasan minimal dari jurusan termasuk izin yang
masih diperbolehkan. Terakhir, mengenai tabrakan jadwal kegiatan kuliah. Hendra
juga berpendapat terkait izin tabrakan jadwal kuliah, seharusnya dosen
mempunyai inisiatif untuk mengecek siapa saja mahasiswa yang mempunyai tabrakan
jadwal kegiatan kuliah.
Ada
beberapa alasan dibuatnya peraturan ini. Pertama, untuk meningkatakan kualitas
dalam pembelajaran, sehingga diharapkan setiap mahasiswa mendapatkan materi
yang sama dalam kelas tersebut tanpa adanya ketidakhadiran. Selain iu juga guna
menigkatkan hubungan antara dosen dan mahasiswa agar mahasiswa dapat lebih
memahami materi. Selain itu, menurut Akhmad M. Susilo, peraturan ini dibuat
karena hilangnya kepercayaan dari dosen terhadap mahasiswanya. Pasalnya ada
sebagian mahasiswa yang memanfaatkan kelonggaran dari peraturan yang
sebelumnya, seperti memalsukan surat dari dokter, menitip absen dan sebagainya.
Ia juga menjelaskan masalah seperti ini sudah sering terjadi, ujung-ujungnya
akan menyusahkan dosen yang bersangkutan. Kemudian mahasiswa meminta keringan dosen
untuk mengikuti ujian, mengingat sanksi dari ketidakhadiran lebih dari 25%
adalah tidak boleh mengikuti ujian akhir.
Tidak
adanya surat penugasan —minimal dari prodi bagi mahasiswa yang akan
melaksanakan tugas perkuliahan, maupun kegiatan di luar kuliah juga akan
mendapatkan sanksi, yakni dianggap tidak hadir pada kegiatan kuliah. Dampaknya
menambah jumlah presentase ketidakhadiran, yang kemudian mengakibatkan
mahasiswa tersebut tidak bisa mengikuti ujian. Sanksi juga berlaku bagi dosen
yang melanggar peraturan ini. Bagi siapa saja dosen yang memberikan izin kepada
mahasiswa dengan alasan yang tidak terdapat dalam peraturan maka akan
mendapatkan berapa tahapan sanksi. Tahap pertama, apabila dosen melanggar satu
kali akan diberikan teguran secara lisan. Sanksi ini akan terus meningkat
tergantung berapa banyak pelanggaran yang dilakukan sang dosen. Apabila dosen
telah melakukan beberapa kali pelanggaran dan sudah ditegur namun masih tetap melakukan
pelanggaran, sanksi paling berat adalah
pencabutan sertifikat dosen oleh pihak yang berwenang.
Peraturan
dekan ini juga akan berimbas terhadap kegiatan mahasiswa dalam berorganisasi. Pradyaksa,
mahasiswa salah satu prodi di FTI UII berpendapat, peraturan ini akan berdampak
negatif bagi mahasiswa Angkatan 2013. Menurutnya, semester ini adalah masa yang
produktif bagi mereka untuk berorganisasi. Pradyaksa juga mengusulkan, aturan
tersebut seharusnya lebih dikhususkan kepada Angkatan 2014, karena ini akan lebih
efektif untuk mendukung peraturan DIKTI bagi mahasiswa angkatan 2014 agar dapat
lulus tepat waktu, maksimal lima tahun. Peraturan yang cukup merugikan bagi
mahasiswa yang berorganisasi adalah penggantian kuliah yang dilakukan oleh
dosen pada hari-hari dimana itu biasanya digunakan untuk berorganisasi.
Pasalnya pada peraturan yang dituliskan, penggantian jadwal kuliah harus dihadiri
oleh mahasiswa yang bersangkutan. Izin hanya diberikan kepada mereka yang
jadwal kuliahnya bentrok dengan kuliah lain, ataupun mendapatkan penugasan dari
institusi. Sedangkan penggantian jadwal kuliah biasanya dilakukan pada hari
libur, dan bagi mahasiswa yang berorganisasi, hari libur adalah hari mereka
untuk melakukan rapat-rapat acara, karena pada hari-hari biasa adalah kewajiban
mereka untuk kuliah.
Akhmad
menjelaskan, peraturan dekan memang hak dekan untuk membuat peraturan itu, tetapi
mengenai masalah penggantian jadawal kuliah yang dilakukan oleh dosen untuk
tidak diwajibkan. Menurut Ketua LEM FTI ini pengganti kuliah hukumnya sunnah, yang diwajibkan adalah jadwal
kuliah yang telah diinput pada masa pengisian Rencana Akademik Semester (RAS). Jika
jadwal kuliah pengganti diwajibkan kehadirannya, ada beberapa dari hak
mahasiswa yang dilanggar. Dia juga berpendapat untuk mengatasi penggantian
jadwal dengan cara menggantikan dosen yang sedang berhalangan dengan dosen yang
di khususkan untuk cadangan dan mempunyai kompetensi yang baik. Pradyaksa juga
berharap supaya peraturan ini dikaji ulang, karena kegiatan-kegiatan di luar
kampus seperti adanya kepanitiaan ini juga menambah kemampuan mahasisiwa dalam
mengatur sebuah organisasi, yang pada akhirnya akan berguna pada dunia kerja.
Semuanya kembali kepada mahasiswanya masing-masing, apakah dia akan melakukan
kegiatan organisasi, atau hanya fokus pada kuliahnya. Kuliah bukan sistem
pembelajaran yang memaksa kita hanya untuk belajar, tapi menyiapkan mahasiswa
untuk dapat terjun ke masyarakat. Jika mahasiswanya saja merasa dibatasi dalam
menjalankan organisasi bagaimana mahasiswa akan siap terjun ke masyarakat dan
dunia kerja.