SEPUTAR PROFESI

"LPM PROFESI FTI UII Adakan Workshop Jurnalistik Sabtu (01/11)"

Untaian "Kata" PROFESI

Lembar berisikan berita milik PROFESI

SEPUTAR PROFESI

Pengrajin Gerabak sedang membakar karyanya agar kokoh.

Diskusi Bersama

Para Caleg (Calon Legislatif) KM FTI dalam acara Diskusi Bersama oleh LPM PROFESI

Pekan Taaruf FTI UII 2014

Suasana Pekan Taaruf (Pekta) 2014 di lingkungan FTI UII.

12/1/14

RESENSI : Sang Pemula


Judul                : SANG PEMULA
Penulis             : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Sang Pemula
Tebal               : 422 hlm
Harga              : Rp 30.000
ISBN               : 979-973-120-8


SEPOTONG CERITA PERJUANGAN BAPAK PERS NASIONAL
“Djaman sekarang, banjak sekali journalist jang gagah brani, tetapi moedah didjebak, sedang journalist jang tjerdik kebranian koerang”
Raden Mas (RM) Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1880. Djokomono adalah nama pada masa kecilnya. Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di HBS Belanda kemudian melanjutkan studi eleve (bahasa Prancis, artinya seperti sekolah kejuruan) kedokteran di STOVIA, Batavia.
Tirto Adhi Soerjo menjadi jurnalis yang berbeda sekembalinya dari pengembaraan di Maluku. Tidak seperti ketika memimpin surat kabar Soenda Berita dengan sopan dan sabar, ia berubah menjadi begitu sengit. Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula, dalam setiap kesempatan, Tirto sering menggunakan tulisan-tulisannya untuk berani mengkritik dan menyatakan ketidakadilan serta kebusukan pemerintahan Belanda. Selama di Maluku Tirto menyaksikan kebiadaban dan perlakuan tidak adil kepada pribumi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.
Berbekal pengalaman di Maluku membuat dirinya berani mempublikasikan Medan Prijaji. Koran ini dikenal  sebagai surat kabar nasional pertama, karena menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) dan seluruh pekerja mulai dari wartawan, penerbitan, dan pekerjanya adalah pribumi Indonesia asli. Dengan delapan pedoman bahwa surat kabar (berita) harus memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan perdagangan, Medan Prijaji menunjukkan secara gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus diarahkan.

Akar Jurnalisme politik mengurat sampai pasca kemerdekaan. Di era demokrasi liberal tahun 1950-an, pers adalah napas yang sama dengan era sebelumnya, yaitu menjadi pers propaganda. Kita bisa menyebut beberapa contoh : Abadi (berafiliasi dengan Masyumi), Pedoman (PSI), Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), dan Indonesia Raya (Independen, anti komunis). Pasar surat kabar saat itu dikuasai media yang berafiliasi dengan partai politik.
Tirto Adhi Soerjo juga menjadi motor gerakan emansipasi wanita bersama R.A Kartini yang ternyata masih serumpun jika dilihat dari garis keturunan para raja Madura. Beberapa persamaan antara Tirto dan R.A Kartini adalah sebagai berikut, kepriyayian saat R.A Kartini dan Tirto menolak menjadi priyayi, Kedokteran saat R.A Kartini memandang kedokteran sebagai lapangan pekerjaan yang yang bagus untuk bangsanya, sedangkan Tirto telah mengikuti sekolah kedokteran, walaupun tidak sampai selesai. Sekolah gadis untuk pribumi saat R.A Kartini bercita-cita mendirikan sebuah sekolah, sedangkan Tirto menulis terkait pengajaran untuk perempuan Bumiputera, dan Perhimpunan Oost en West saat R.A Kartini membantu memajukan kerajinan pribumi, sedangkan Tirto telah menjadi anggota perhimpunan tersebut cabang Jawa Barat.

Lain R.A Kartini, lain pula cerita Tirto dengan Dewi Sartika. Namun, tidak banyak keterlibatan Tirto dalam perjuangannya menggerakkan emansipasi wanita kala itu. Di mulai sejak Tirto menjadi donatur dan penasihat di usaha dan sekolah tenun Dewi Sartika.

Suwarti, Wanita Konstruksi

Sebelum mentari pagi menyapa, aku harus sudah bangkit dari kepulasanku hingga larut nanti. Bismillah, aku niatkan ini demi buah hatiku. Begitulah kiranya motivasi hidup Suwarti, salah seorang wanita pekerja konstruksi boulevard UII.


Empat bulan terhitung awal penggarapan, Suwarti (47) tinggal di gubuk konstruksi proyek boulevard UII. Ini bukanlah kali pertama ia terjun ke dunia konstruksi, melainkan sejak usia 15 tahun. Suwarti merelakan masa remajanya terenggut oleh kemuliaan menafkahi kedua orang tuanya. Kini, setelah mereka tiada, derita itu tetap saja melekat dikesehariannya. Suwarti masih harus kesana-kemari menjadi buruh proyek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama gadis bungsunya yang berusia 18 tahun. Sementara, sang suami pergi meninggalkannya tiga tahun silam dengan hutang-hutang yang masih menumpuk, kini rumah Suwarti akan disita jika tak sanggup melunasi semua hutangnya.
Pukul 08.00, semua pekerja harus sudah berada di lokasi proyek, begitu juga Suwarti harus sudah menyiapkan segala keperluan konsumsi untuk makan siang bagi mereka. Tugas Suwarti sebenarnya hanya melayani konsumsi, namun tak jarang ia terjun ke lokasi untuk menggali lubang, memecah batu, dan mengangkut paving block hingga waktu Zuhur tiba. Meski tiada upah tambahan, Suwarti mengikhlaskan apa yang telah ia kerjakan.
Waktu menunjukkan pukul 13.00, Suwarti siap kembali ke lokasi untuk melanjutkan pekerjaannya. Lelah, penat, dan rasa ingin berontak, itulah gambaran dari perasaan Suwarti. “Kalau gak kerja, mau makan apa?” ungkap wanita berdarah jawa itu. Dengan kondisi kaki yang belum sempurna sembuh akibat tertabrak mobil, peristiwa dua tahun silam. Semua ini dilakukan dengan alasan buah hatinya dan menghilangkan stress karena lilitan hutang sang suami.
“Itu, menyetel radio, nyanyi-nyanyi, stress hilang,” ungkap Suwarti dengan senyum bahagia menunjuk radio di pojok.
Tidak ada yang menginginkan diri menjadi buruh proyek, namun karena tuntutan hidup, mereka memaksakan diri untuk terjun ke dunia konstruksi. “Itulah namanya hidup, Mas,” tegas Evi Tri Sasono, Manajer Lapangan proyek pembangunan boulevard UII kepada LPM Profesi. “Mereka tidak seberuntung kita. Tinggal kuliah, tinggal makan, masih malas, “tambahnya.
Dalam dunia konstruksi, tiada beda porsi baik itu wanita maupun lelaki. Wanita juga tetap melakukan kerja berat, karena semua dianggap sama ketika berada di dunia kerja. Yang jelas, pekerjaan ini selesai pada waktu yang telah di jadwalkan.
Suwarti kerap kali mengalami kelelahan, pernah suatu saat ia terpleset di kamar mandi gubuk konstruksinya. Ketika itu tiada orang satupun di sana, karena pada malam hari hanyalah Suwarti seorang diri yang tinggal di gubuk itu.”Kecapekan, keseleo, manggil-manggil gak ada orang, ngesot-ngesot, basah,” tutur Suwarti dengan nada polos.
Bagaimana tidak, dari pukul 13.00 tak hanya selesai pada pukul 16.00. Usai Sholat Isya, Suwarti melanjutkan pekerjaan memindahkan paving block ke lokasi yang hendak digunakan esok hingga malam hari. Ia melakukan itu dengan sendiri, terkadang saat ditemani dengan rekan pekerja, mereka melakukan secara bersama “Gak pernah tidur siang, enak kerja keluar keringat,”ungkap wanita itu dengan tulus.
Prihatin dan kasihan, perasaan itu yang dirasakan Toko, rekan kerja yang juga dipercaya sebagai Asisten Mandor. “Kenal sejak kecil, kerja buruh kesana-kemari. Prihatin, sama-sama gak punya” jelas Toko jujur.
Jika ditanyai impian, jawabannya pasti sama dengan para ibu pada umumnya yaitu ingin membahagiakan buah hatinya. “Maunya menyenangkan anak, bayar bank (hutang .red),” harapnya. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya jatuh di lubang yang sama. Mereka ingin anaknya lebih bahagia ketimbang saat ini, saat bersama orang tua. Meski Suwarti single parent, ia tetap mengusahakan agar anaknya bahagia dengan mencarikan pekerjaan yang layak untuk gadis remajanya.
Terik tak mengurungkan niatnya untuk mengubah hidup, berbagai cara ia lakukan dengan melakukan sholat, Puasa Senin, dan Puasa Kamis. “Puasa Senin Kamis biasa, kuat, biasa” tuturnya.
            Berat rasa untuk kembali ke rumah miliknya karena lilitan hutang. “Saya belum berani pulang” ungkapnya. Rumah kesayangannya sudah tiga tahun ditinggalkan tanpa ada perawatan. Ia tidak mengharapkan imbalan lebih, Tak cukup upah kerja borongannya itu jika dipikirkan, ia ikhlas menyerahkan semua yang terjadi hanya kepada Yang Maha Esa. (M. Khoirul Ummam)

Foto: PROFESI/Ummam, 
“Suwarti sedang menyiapkan konsumsi di gubuk konstruksi proyek pembangunan boulevard UII”

Foto: PROFESI/Ummam, 
“Tampak para wanita sedang mengerjakan pekerjaan konstruksi boulevard UII”



PROBLEMATIKA PENGAKRABAN

Terlalu disayangkan jika acara makrab dilewatkan begitu saja, acara yang telah direncanakan sedemikian matangnya oleh mahasiswa untuk menyambut keluarga baru, untuk mahasiswa baru.”

Malam keakraban (makrab), demikian nama kegiatan yang mulai santer diperbincangkan di kampus perjuangan. Seusai rangkaian acara pekan ta’aruf tingkat universitas dan fakultas, masa orientasi akan berlanjut dengan malam keakraban di masing-masing jurusan. Makrab adalah ajang pengenalan dunia kampus dan juga kegiatan yang bertujuan untuk mengakrabkan diri antar mahasiswa.
Suatu hal yang disayangkan, selama ini makrab juga terkenal dengan ajang “perploncoan” oleh kakak angkatan ke adik angkatan. Namun, sejak disahkannya Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) bernomor 25/DIKTI/kep/2014 pada 30 Juni 2014 lalu tentang Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru, maka resmi pula keputusan DIKTI tersebut menjadi dasar pelaksanaan makrab di perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Pada bab VI perihal pelaksanaan pada poin A yang membahas bentuk, tempat, dan waktu pelaksanaan tertulis secara jelas dalam surat keputusan tersebut. Apakah aturan yang ada pada bab VI tersebut menjadi harga mati untuk menjadi dasar pelaksanaan makrab?
Di Fakultas Teknologi Industri (FTI) sendiri, sudah banyak kegiatan yang sudah direncanakan oleh masing-masing Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk pelaksanaan makrab. Dengan keputusan DIKTI tersebut, maka sebagian konsep yang sudah dibuat harus direncanakan ulang agar sesuai dengan keputusan DIKTI. Salah satunya makrab dari Jurusan Teknik Elektro yang harus mengubah konsep kegiatan makrab.
Kalau masih dibawah jurusan, maka segala macam kegiatan entah makrab entah apapun juga itu, kan namanya kegiatan orientasi maka ya seharusnya akan tunduk pada aturan ini,” tutur Sisdarmanto Adinandra selaku Sekretaris Jurusan (Sekjur) Teknik Elektro sewaktu ditemui PROFESI padaSelasa (14/10/2014).
Keputusan DIKTI itu menjadi peraturan dasar yang diterapkan jurusan khususnya di Program Studi Jurusan Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia (UII). Meskipun keputusan DIKTI menjadi acuan, namun pihak jurusan tidak memandang secara kaku sebagai aturan yang tetap. Nandra, begitu Sekjur Teknik Elektro ini biasa disapa,mengaku tidak keberatan dengan adanya konsep makrab namun diakui juga bahwa untuk mengontrol hal-hal diluar kendali memang agak sulit dilakukan.
Dari pihak panitia Makrab Teknik Elektro, Electro Study Camp (ESC), mengatakan sempat ada konflik antara jurusan dan panitia meskipun hanya konflik kecil, keterangan Arif selaku koordinator Komisi A  ESC yang bertugas menyusun konsep acara. Konsep yang akan diterapkan pada ESC tahun ini menjadi konsep yang belum pernah ada sebelumnya. Arif juga menuturkan bahwa konsep awal yang telah jadi harus diulang dari awal sebagai imbas dari adanya keputusan DIKTI tersebut.
Kami sendiri dijurusan, mencoba mengubah konsep makrab yang nggak jelas, ada jalan malam, dan sebagainya menjadi hal yang lebih bermanfaat,” tambah Nandra. Telah ada kesepakatan antara jurusan dan panitia mengenai konsep makrab pada tahun ini. Dari keputusan yang telah disepakati tersebut juga dilengkapi dengan perjanjian antara panitia dan juga jurusan.
Pihak Jurusan Teknik Elektro akan memberikan sanksi yang tegas apabila ESC tahun ini tidak dilaksanakan sesuai keputusan DIKTI dan sesuai perjanjian. Apabila tetap menggunakan konsep yang terdahulu maka makrab akan dianggap bukan lagi bagian dari acara jurusan dan akan diadakan pemberitahuan untuk mahasiswa/i 2014, bahwa acara makrab bukan bagian dari jurusan dan tidak bersifat wajib. Jurusan juga tidak akan menanggung akan kelangsungan acara tersebut dan untuk makrab tahun selanjutnya akan ditiadakan.
Sedikit berbeda dalam penyusunan konsep makrab dari Jurusan Teknik Industri. Dalam penyusunan konsep makrab sepenuhnya dilaksanakan oleh panitia. Dalam hal ini merupakan tugas dari panitia Steering Comitte (SC). Bobby Rahman selaku ketua SC panitia makrab Teknik Industri mengatakan bahwa jurusan mempercayai sepenuhya kepada panitia sehubungan pelaksanaan makrab.
Dalam menanggapi keputusan DIKTI ini pula, telah diadakan audiensi oleh pihak Dekanat FTI UII dengan kelima jurusan yang ada di FTI UII. Selanjutnya dalam menyikapi keputusan DIKTI ini diserahkan kepada jurusan masing-masing. Dengan karakteristik HMJ yang berbeda-beda maka dari setiap jurusan juga menanggapi surat keputusan DIKTI ini dengan sikap yang berbeda pula.
Pada dasarnya diadakannya pelaksanaan makrab tentu saja memiliki tujuan yang baik dan bermanfaat. Lebih mengakrabkan dan memperkenalkan keluarga dari masing-masing jurusan merupakan salah satu tujuan dari acara malam keakraban ini. Pengadaan acara makrab yang tentu saja tidak ringan dan hampir bisa dipastikan tidak mungkin bertujuan yang tidak jelas. (Retno dan Reiny)

SekretarisJurusanTeknikElektro FTI UII
periode 2014-2018, RM. SisdarmantoAdinandra. 
Sumber: http://krn2013.dinus.ac.id/ 


PARKIRAN MEMBELUDAK, BELUM ADA SOLUSI PASTI

“Dalam satu-dua periode wisuda mungkin mahasiswa berkurangnya cukup banyak sehingga harapannya parkiran bisa kembali normal”


Banyak hal yang berubah setelah pekan ta’aruf  universitas maupun fakultas di kampus perjuangan Universitas Islam Indonesia (UII) usai. Fakultas Teknologi Industri (FTI) terutama, hal yang paling menyilaukan mata ketika masuk ke lingkungan kampus FTI adalah ratusan kendaran bermotor menghambur hampir di setiap tempat yang sebenarnya bukan lahan parkir.
 Parkiran motor yang dikelola oleh FTI selama hampir dua bulan ini sudah melebihi kapasitasnya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah mahasiswa baru di empat fakultas yang menggunakan lahan parkir tersebut yaitu Fakultas Teknologi Industri (FTI), Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), dan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI). Akibatnya, banyak mahasiswa dirugikan dalam hal waktu dan keamanan.
            Dengan membeludaknya parkiran, lapangan basement FIAI menjadi alternatif lahan parkir. Bahkan halaman GOR UII menjadi lahan parkir berikutnya, jika parkiran di lapangan basement FIAI dan parkiran di FTI sudah melebihi batasnya.
            Imam Djati Widodo membeberkan terkait penentuan jumlah mahasiswa baru di FTI “Dari setiap prodi (program studi.red) mengajukan kuota mahasiswa baru tetapi ada estimasi dari rektorat dalam menentukan jumlah mahasiswa barunya,” ujar Dekan FTI tersebut. Ada estimasi penambahan kuota mahasiswa baru yaitu 10-20%. Prediksi yang awalnya untuk menutupi kuota yang ditentukan prodi jika banyak mahasiswa baru yang mengurungkan niat untuk kuliah di UII, malah menimbulkan masalah yaitu parkiran yang melebihi batas maksimal.
            Petugas penjaga parkir juga kewalahan dalam menangani realita ini. Akhirnya, divisi perbekalan FTI mengarahkan para petugas kebersihan untuk membantu menjaga parkir dan mendirikan stand pengecekan STNK di depan FTI, dengan pembagian shift penjagaan, petugas-petugas yang berjumlah 14 orang harus membagi tugas utama mereka memelihara kebersihan dan keindahan kampus FTI UII dengan menjaga parkir yang menjadi tugas tambahan dari Divisi Perbekalan.
Dengan realita yang fenomenal ini, solusi konkret harus segera direalisasikan dengan cepat. Solusi dari orang-orang yang bersangkutan juga beragam. “Penambahan personil petugas keamanan dan pembuatan lahan parkir baru karena kasihan adik-adik mahasiswa harus parkir di GOR,” Ujar Agus selaku koordinator keamanan FTI kepada PROFESI. Dekan FTI juga tak ketinggalan untuk dimintai solusi mengenai membeludaknya parkiran, “Pihak universitas bisa memikirkan untuk mengelola parkiran dan tambahan ruang parkir serta rencana tahun depan dalam menentukan jumlah mahasiswa baru dengan estimasi yang tepat.,” Tegas Imam. Dekan FTI juga berasumsi bahwa dalam satu-dua periode wisuda mungkin mahasiswa berkurangnya cukup banyak sehingga harapannya parkiran bisa kembali normal.
            Keluhan mahasiswa juga beragam, Aulia mahasiswa Teknik Elektro mengungkapkan, “seharusnya dari pihak fakultas atau jurusan memperhitungkan dalam menentukan mahasiswa baru dan keamanannya juga kurang karena banyak helm yang hilang di luar parkiran FTI,” Ungkap mahasiswa asal Dompu, NTB tersebut. Berbeda dengan Aulia, Dzulfiqar berpendapat parkiran membeludak karena jumlah mahasiswa yang masuk tidak sebanding dengan mahasiswa yang lulus. “Rekonstruksi dan perbaharui parkirannya, entah itu mau dibuat tingkat atau mau bagaimana yang penting tidak ada lagi yang parkir sembarangan,” Lanjut mahasiswa Teknik Informatika tersebut. (Tantowi Alwi reportase bersama Romly)